Cari Blog Ini

Rabu, 14 September 2011

Ayo "Beternak" Daging di Laboratorium


Bart van Overbeeke, Eindhoven University of TechnologySel otot yang tengah dikulturkan di dalam cawan nutrisi.




Mereka mulai berpikir untuk memproduksi daging tanpa harus memelihara ternak tapi cukup membuat kultur jaringan alias "beternak" daging di laboratorium. Ini mungkin gagasan yang belum banyak dilirik. 

Cara "beternak" ini mirip dengan cara menumbuhkan jaringan untuk keperluan penelitian. Sel bahan baku ternak diubah menjadi sel otot alias daging di cawan petri kemudian ditumbuhkan. 

Tentu saja diupayakan agar daging yang berkembang nantinya memiliki nutrisi yang sama dengan daging yang diperoleh dengan cara konvensional. Caranya, dengan menambahkan nutrisi-nutrisi tertentu yang bersumber dari bahan lain.

Para ilmuwan mengungkapkan, "ternak" daging di lab ini memiliki beberapa keuntungan. Pertama, dari sudut pandang lingkungan, cara ini akan mengurangi emisi gas rumah kaca, penggunaan lahan dan konsumsi air. 

Cara ini mungkin juga bisa diandalkan untuk mengatasi masalah etis dalam peternakan hewan yang selama ini ada, misalnya kandang yang terlalu padat dan cara pemotongan yang kurang etis, akibat besarnya permintaan konsumsi daging.

Dalam pertemuan minggu lalu, para ilmuwan berusaha mengajak pihak lain untuk fokus pada penelitian tentang cara menumbuhkan daging di lab. 

"Kami mengundang semua stakeholder untuk berdiskusi menangani masalah ini dan menentukan arah ke depan. Saat ini, hanya ada sedikit saja penelitian di area daging kultur. Untuk maju ke depan, kita secara substansial harus meningkatkan jumlahnya," kata Jullie Gold, associate professor biofisika di Chalmers, seperti dikutip Science Daily.

Sebanyak 25 ilmuwan yang terdiri dari pakar lingkungan, bioetika, genetika, sel punca dan teknologi pangan telah sepakat untuk meningkatkan funding pada area penelitian ini. Mereka mengungkapkan bahwa hingga saat ini belum ada alasan kuat untuk menentang rencana mengembangkan "ternak" daging ini. 

Harapannya, ternak daging ini bisa menyejahterakan manusia dan hewan di masa mendatang. Karena salah satu tujuannya adalah berupaya agar ramah lingkungan, maka ilmuwan pun menaruh perhatian pada upaya melakukan kultur daging secara ramah lingkungan pula.

Misalnya dalam penyediaan nutrisi, para ilmuwan berusaha menggunakan bahan yang ramah lingkungan dan tak bersumber dari hewan. Salah satu sumber nutrisi kuat adalah mikroorganisme fotosintetik alga hijau biru. Nah, kalau daging ini benar terwujud, maukah Anda mengkonsumsinya? 

Sumber :
kompas.com

Selasa, 11 Januari 2011

PEMBUATAN SOSIS








I. PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Masalah

Kemajuan pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat berdampak pula pada produk-produk daging. Berbagai jenis olahan daging telah banyak beredar dalam masyarakat seperti bakso, sosis, daging asap, abon dan lain-lain. Sosis merupakan salah satu bahan makanan olahan yang cukup digemari karena praktis, dan rasanya yang enak. Dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi, maka cara pengolahan sosis pun berkembang. Di masyarakat, dikenal beberapa cara yang umum digunakan untuk membuat sosis. Berikut ini akan dibahas salah satu cara pembuatan sosis yang tergolong baru dan mudah diterapkan saat ini.

1.2 Masalah dan Batasannya

Sosis merupakan salah satu bahan olahan yang praktis dan cukup digemari di kalangan anak-anak, sebagai “jajanan” yang bergizi tinggi. Namun, hanya sedikit orang yang dapat membuat sosis, padahal cara pembuatan sosis dapat dibilang cukup mudah dengan penerapan teknologi yang sederhana. Untuk itu dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai cara pembuatan sosis dan teknologi yang digunakan.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan sedikit informasi mengenai cara pembuatan sosis kepada masyarakat luas.

1.4 Landasan Teori

Daging
Daging merupakan sumber protein berkualitas tinggi, mengandung vitamin B dan mineral, khususnya besi. Secara umum dapat dikatakan bahwa daging terdiri dari air dan bahan- bahan padat. Bahan padat daging terdiri dari bahan – bahan yang mengandung nitrogen, mineral, garam dan abu. Kurang lebih 20 % dari semua bahan padat dalam daging adalah protein. (Sugiyono dan Muchtadi,1992).

Daging adalah sumber utama zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk kesehatan manusia yang mengkonsumsinya (Lawrie,1995). Menurut Forrest et al . (1975), nilai nutrisi daging yang tinggi disebabkan karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Di samping kandungan proteinnya tinggi, daging juga mengandung air, lemak, karbohidrat dan komponen organik (Soeparno,1994).

Sosis
Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam pembungkus yang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, dengan atau tidak dimasak. Menurut Kramlich (1971), sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang digiling dan dibumbui, umumnya dibentuk menjadi bentuk yang simetris.
Menurut SNI 01-3020-1995 sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis. Komponen daging yang sangat penting dalam pembuatan sosis adalah protein. Protein daging berperan dalam peningkatan hancuran daging selama pemasakan sehingga membentuk struktur produk yang kompak. Peran protein yang lain adalah pembentukan emulsi daging, yaitu protein yang berfungsi sebagai zat pengemulsi lemak (Krimlich,1971).

Emulsi Sosis
Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi sua cairan atau senyawa yang tidak dapat bercampur, yang satu terdispersi pada yang lain. Cairan yang berbentuk globula- globula kecil disebut fase dispersi atau fase diskontinu, dan cairan tempat terdispersinya globula-globula tersebut disebut fase kontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau menyelimuti semua permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno,1994).

Menurut Charley (1982), emulsi terdiri atas tiga fase atau bagian. Satu , fase terdispersi yang terdiri dari partikel-partikel yang tidak dapat larut. Pada makanan, zat ini biasanya minyak, meskipun tidak selalu. Fase kedua adalah fase kontinu. Pada makanan, zat ini biasanya air. Jika air dan minyak dicampur, keduanya akan langsung memisah dan dan terlihat garis pemisah yang jelas. Agar partikel-partikel salah satu cairan tersuspensi dalam cairan lainnya, dibutuhkan zat ketiga, yaitu molekul – molekul yang mempunyai afinitas untuk kedua cairan diatas. Zat ini dinamakan pengemulsi.

Kandungan protein yang tinggi akan meningkatkan kapasitas emulsi daging. Kapasitas emulsi dari berbagai daging trimming menurun dengan menurunnya kandungan lean. Garam mampu melarutkan lebih banyak protein sehingga lebih tersedia untuk emulsifikasi.

Karena itu, lemak yang lebih banyak bisa diemulsi dengan protein ynag lebih sedikit sehingga meningkatkan efisiensi. Kapasitas emulsi dari protein larut dalam air lebih rendah dibandingkan dengan kapasitas emulsi protein larut dalam garam (Wilson et al., 1981).


Air
Kandungan air sosis bervariasi tergantung pada jumlah air yang ditambahkan dan macam daging yang digunakan. Fungsi air adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak) daging, menggantikan sebagian air yang hilang selama proses pembuatan, melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein larut garam, berperan sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bahan-bahan curing (Soeparno,1994). Kandungan air sosis bervariasi tergantung pada jumlah air yang ditambahkan dan macam daging yang digunakan.

Menurut Kramlich (1971), pada proses pembuatan sosis biasanya ditambahkan air dalam bentuk es sebanyak 20-30%. Penambahan es juga berfungsi untuk mencegah agar suhu adonan tetap rendah selama penggilingan sehingga kestabilan emulsi dapat terjaga (Wilson etal., 1981).

Garam
Garam berfungsi untul memberikan citarasa dan sebagai pengawet. Penggunaan garam bervariasi, umumnya 2-2.5 % karena adanya hubungan dengan penyakit darah tinggi, penggunaan garam semakin dikurangi. Pada konsentrasi garam yang sama, sosis yang teksturnya kasar nampaknya kurang asin bila dibandingkan dengan sosis yang halus teksturnya (Kramlich,1971).

Menurut Soeparno (1994), garam merupakan bahan terpenting dalam curing, berfungsi sebagai pengawet, penambah aroma dan citarasa. Garam dapat meningkatkan tekanan osmotik medium pada konsentrasi 2 %, sejumlah bakteri terhambat pertumbuhannya. Wilson et al.(1981) menjelaskan bahwa larutan garam mempercepat kelarutan protein otot dan memperbaiki daya mengikat airnya. Konsentrasi optimum pada sosis sekitar 1-5%.

Sodium Trifosfat (STPP)
Penambahan polifosfat pada produk olahan daging dalam bentuk kering rata-rata 0.3 %. Tujuan utama penambahan fosfat yaitu untuk mengurangi kehilangan lemak dan air selama pemasakan, pengalengan, atau penggorengan (Wilson et al.,1981). Menurut Soeparno (1994), fungsi fosfat adalah untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging, mereduksi pengerutan daging dan menghambat ketengikan. Jumlah penambahan fosfat dalam curing tidak boleh lebih dari 5% dan produk akhir harus mengandung fosfat kurang dari 0.5 %.

Wilson et al. (1981) mengatakan bahwa fosfat yang digunakan dalam sistem pangan menampilkan fungsi-fungsi kimia yaitu mengontrol pH, meningkatkan kekuatan ionik dan memisahkan ion logam. Fungsi-fungsi tersebut dipakai dalam produk daging untuk meningkatkan daya mengikat air, emulsifikasi dan memperlambat oksidasi.

Lemak
Lemak berperan sebagai fase diskontinu pada emulsi sosis. Kadar lemak berpengaruh pada keempukan da jus daging. Emulsi dari lemak sapi cenderung lebih stabil karena lemak sapi mengandung lebih banyak asam lemak jenuh. Sosis masak harus mengandung lemak tidak lebih dari 30 %. (Kramlich,1971).

Bahan pengikat
Penambahan bahan pengikat bertujuan untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya mengikat air, meningkatkan citarasa, mengurangi pengerutan selama pemasakan serta mengurangi biaya formulasi. Bahan pengikat adalah material bukan daging yang dapat meningkatkan daya mengikat air daging dan emulsifikasi lemak. Bahan pengikat mempunyai protein yang tinggi. Contoh dari bahan pengikat adalah tepung kedelai, isolat protein kedelai serta skim bubuk. (Soeparno,1994).

Penyedap dan bumbu
Penyedap adalah berbagai bahan baik sendiri maupun kombinasi yang ditambahkan pada pembuatan suatu produk yang dapat menambah rasa pada produk tersebut. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam pembuatan sosis (Soeparno, 1994). Bumbu adalah suatu substansi tumbuhan aroatik yang telah dikeringkan dan biasanay sudah dalam bentuk bubuk (Rust, 1987). Penambahn bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukkan untuk menambah/meningkatkan flavor (Soeparno,1994). Selain menambah flavor, dalam beberapa hal bumbu juga bersifat bakteriostatik dan antioksidan(Pearson dan Tauber, 1984 ).

Selongsong sosis
Selongsong sosis dipakai untuk menentukan bentuk dan ukuran sosis. Selongsong sosis dapat berfungsi sebagai cetakan selama pengolahan, pembungkus selama penanganan dan pengangkutan, serta sebagai media display selama diperdagangkan. Selongsong sosis harus memiliki sifat kuat dan elastis (Pearson dan Tauber,1984). Menurut Kramlich (1971), ada lima macam selongsong yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu:
1) selongsong yang terbuat dari usus hewan,
2) selongsong yang terbuat dari kolagen,
3) selongsong yang terbuat dari selulosa,
4) selongsong yang terbuat dari plastik,
5) selongsong yang terbuat dari logam.

Sosis memang jenis makanan yang lezat dan mudah diolah dengan berbagai resep sosis. Aneka ragam variasi sosis dengan mudah dapat diperoleh baik di pasar modern maupun pasar tradisional.  Perbedaan jenis sosis terletak pada warna, bentuk, ukuran, cita rasa, bahkan bahan dasar dan proses pembuatannya. Berdasarkan metode cara membuat Sosis, secara umum dibagi menjadi 5, yaitu :
 
  1. Fresh Sausage, yaitu sosis yang dibuat dari daging segar yang belum mengalami pelayuan dan tidak dikuring. Penguringan adalah suatu cara pengolahan daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam natrium klorida (NaCl), natrium-nitrit, natrium-nitrat, gula, serta bumbu-bumbu. Proses pembuatan Sosis segar tidak menggunakan proses pemasakan ataupun diasapi. Sosis jenis ini harus didinginkan dan dimasak sebelum dimakan. Contohnya Fresh Beef sausage.
  2. Fresh Smoke Sausage, yaitu Fresh Sausage yang diasap. Sosis ini juga harus didinginkan dan dimasak sebelum dimakan. Contohnya adalah Mettwurst.
  3. Dry sausage, adalah Fresh sausage yang dikeringkan.Sosis jenis ini biasanya dimakan dalam kondisi dingin dan didiamkan dalam jangka waktu lama.
  4. Cooked Sausage, dibuat dari daging segar yang kemudian dimasak / direbus. Sosis jenis ini biasanya dimakan segera setelah dimasak atau apabila disimpan maka harus  dipanaskan terlebih dahulu  sebelum dimakan. Contoh sosis jenis ini adalah sosis Veal, Braunschweiger.
  5. Cooked Smoked Sausages, sosis jenis ini hampir sama dengan Cooked Sausage, tetapi setelah direbus maka sosis diasap atau diasap dahulu  baru kemudian direbus. Sosis jenis ini dapat dimakan panas atau dingin, tetapi harus disimpan dilemari pendingin, Contohnya Wiener, Kielbasa atau Bologna.
Sedangkan menurut Dr. Ir. Joko Hermanianto, dosen Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan IPB,sosis dibagi menjadi 3 jenis yaitu :
  1. Sosis mentah (rohwurst), dibuat dari daging sapi mentah yang digiling (tanpa proses pemasakan), kemudian ditambahkan kultur bakteri lactobacillus sehingga terjadi proses fermentasi.
  2. Sosis matang (brunchwurst), dibuat dari daging mentah digiling, diolah, lalu dimasak. Sosis jenis Brunchwurst merupakan jenis sosis yang paling banyak beredar di Indonesia
  3. Sosis masak (kochwurst), biasanya dibuat  dari daging tetelan atau hati yang direbus, diolah, dan dimasak lagi.
Tiap jenis sosis memiliki varian yang begitu beragam. Di Jerman, tercatat lebih dari 1500 jenis sosis dengan penamaan yang berbeda-beda, sesuai dengan bahan yang digunakan, jumlah komposisi daging, serta selera. Hal ini  berbeda dengan di Indonesia, yang belum memiliki standarisasi. Walaupun berkiblat ke Jerman, resep sosis di Indonesia berbeda resep aslinya yang  hampir 100% menggunakan campuran daging atau lemak babi.

Dilihat dari jenis dagingnya, sosis digolongkan menjadi beberapa jenis, yaitu sosis sapi, sosis ayam, dan sosis babi. Akhir-akhir ini daging kambing juga telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan sosis. Di Bali, terkenal sosis yang dibungkus dengan menggunakan casing usus babi, yang dinamakan “urutan”.

Berdasarkan daerah pengembangannya, dikenal berbagai nama dagang (merek) sosis, contohnya :
  1. Salami Sausage, yang berasal dari daerah Salami.   Sosis jenis ini dibuat dari  daging giling yang kadang-kadang dibiarkan tidak halus, sehingga bagian-bagian dagingnya masih terlihat.
  2. Bologna Sausage dari Bologna, merupakan sosis dengan tekstur yang lembut.
  3. Frankfurter Sausage dari Frankfurt, dengan tekstur yang juga lembut. Sosis jenis ini nantinya  lebih populer dengan nama Wiener Sausage. Sedangkan di Amerika Serikat orang mengenalnya dengan istilah Hot Dog.
Berdasarkan tingkat kehalusan penggilingan daging, sosis dibedakan atas sosis daging giling dan sosis emulsi. Dalam sosis daging giling, daging tidak dihaluskan.  Sehingga masih terlihat serat-serat daging yang belum hancur dan menghasilkan tekstur yang khas. Sedangkan dalam sosis emulsi, daging digiling halus sampai terbentuk emulsi dengan lemak yang ditambahkan.



II. ISI



A.  Sosis

Sosis berasal dari bahasa latin yaitu “salsus” yang berarti digarami atau daging yang disiapkan melalui penggaraman (Pearson dan Tauber, 1984). Sosis yang umum adalah produk daging giling yang dimasukan kedalam selongsong (casing) sehingga mempunyai bentuk yang spesifik (bulat panjang) dengan berbagai ukuran (Rust, 1987). Sejarah perkembangan sosis berjalan lambat, dimulai dengan proses penggaraman yang sederhana dan pengeringan daging. Hal ini dilakukan untuk mengawetkan daging segar yang tidak dikonsumsi dengan segera (Kramlich, 1971).

Sosis merupakan makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang kemudia dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan kedalam pembungkus buatan, dengan atau tidak dimasak, dengan atau tanpa diasap (Hadiwiyoto, 19830). Menurut SNI 01-3020-1995 sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis.

Pembuatan sosis merupakan suatu teknik produksi dan pengawetan makanan yang telah dilakukan sejak sangat lama. Di banyak negara, sosis merupakan topping populer untuk pizza. Sosis terdiri dari bermacam - macam tipe, ada sosis mentah dan juga sosis matang. Di Indonesia terdapat berpuluh - puluh merk sosis, ada yang tipe premium dan ada tipe biasa, tergantung jenis sosisnya dan secara umum dapat dilihat dari harganya.
Pearson dan Tauber (1984) menyatakan bahwa sosis dapat diklasifikasikan atas dasar keragaman yang digunakan dalam perbedaan metode pengolahan yang dibutuhkan untuk memproduksi setiap jenis sosis. Klasifikasi sosis terdiri atas:

  1. Sosis segar, yaitu jenis sosis yang dibuat dari daging yang tidak dimasak, tidak dikuring, umumnya daging babi segar dan terkadang daging sapi. Sosis jenis ini harus disimpan pada lemari pendingin dan dimasak dahulu sebelum dihidangkan.
  1. Sosis asap tidak dimasak, yaitu sosis yang mempunyai karakteristik sama dengan sosis segar, namun sosis ini diselesaikan dengan pengasapan untuk memberikan flavor dan warna yang berbeda, serta harus dimasak dahulu sebelum dikonsumsi.
  1. Sosis masak, yaitu sosis yang dipersiapkan dari satu atau lebih macam-macam daging unggas. Sosis ini biasanya merupakan sosis dengan emulsi yang baik.
  1. Sosis kering dan semi kering, merupakan sosis yang diproduksi melalui proses fermentasi dengan persiapan paling rumit diantara semua jenis sosis. Perhatian penuh sangat dibutuhkan pada setiap tahap proses pembuataannya, dan harus dilakukan selama beberapa bulan di bawah kondisi suhu dan kelembabab yang terkontrol.
  1. Sosis daging spesial, merupakan produk yang dibuat dari daging cacah yang biasanya dimasak atau cendrung dibakar daripada diasap.
Sosis sapi banyak digemari masyarakat karena selain rasanya enak, bergizi dan memiliki bentuk yang menarik. Menurut Kramlich (1971), sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam pembungkus yang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, dengan atau tidak dimasak.

B.  Tahap Pembuatan Sosis

Pada pembuatan sosis ada beberapa tahap yang harus dikerjakan, yaitu kyuring, pembuatan adonan, pengisian selongsong, pengasapan, dan perebusan.

1.      Kuring
Kuring adalah pemeraman daging dengan menambahkan garam, nitrat atau nitrir, phosphate, sodium aritrobat, atau asam askorbat. Tahapannya, pertama daging dipotong sebesar telapak tangan (10X10X2 cm). Kemudian diolesi garam dan campuran gula (1%), garam kristal NaNO2 atau KNO2 (7,5 gram untuk 50 kg daging) dan sodium aritrobat sebanyak 22,5 gram untuk 50 kg daging. Kuring dikerjakan pada suhu 2 – 4 0C selama sehari semalam.

2.      Pembuatan Adonan
Pencincangan, pemberian bumbu-bumbu meliputi : garam, gula pasir, bawang putih, merica, sendawa, penyedap rasa, Sodium Trifosfat (STPP), binding, dan filling.

3.      Casing
Selongsong pada umumnya terdiri dari usus sapi, kambing, domba, dan babi. Selongsong dapat pula berupa bahan lain yang khusus dibuat untuk itu, seperti sellulosa, kolagen atau plastik.

4.      Perebusan
Tujuan perebusan adalah memberikan rasa dan aroma tertentu pada sosis, memberikan warna yang lebih karena terbentuknya senyawa nitrosohemokhrom dan memperpanjang daya simpan. Sosis yang telah diasapkan, direbus dalam ketel dengan suhu 70 -75 0C, lama perebusan tegantung jenis sosis yang diproduksi.
 
C.  Alat dan Bahan

1.  Alat
Beberapa peralatan yang dibutuhkan dalam pembuatan sosis ini adalah yaitu squit, panci, kukusan, kompor gas, baskom, timbangan duduk, blender atau gilingan daging, pisau, telenan, benang, dan thermometer.

2.  Bahan
Bahan-bahan yang dibutuhkan adalah daging ayam 1 kg, tepung sagu 150 gram, susu skim 100 gram, selongsong (casing) secukupnya. Sedangkan bumbu-bumbu yang dibutuhkan diantaranya garam dapur 2,5 sendok makan, gula pasir 60 gram, lada atau merica 15 gram, bawang putih 20 gram, sendawa 40 ml, lemak ayam 200 gram, minyak goreng 100 gram, cuka 40 ml, penyedap rasa 2 bungkus, jahe secukupnya, pala 5 gram, sodium trifosfat STPP 0,25 sendok makan, dan es batu 400 gram.

D.  Proses Pembuatan Sosis

Sebelum membuat sosis, penting untuk mengetahui tahapan pembuatan dan alat serta bahan yang dibutuhkan. Setelah mengetahui kedua hal tersebut, langkah selanjutnya adalah mengetahui proses pembuatan sosis. proses pembuatan sosis adalah sebagai berikut.

1.      Bersihkan daging, pisahkan dari tulangnya lalu diiris halus.
Daging
Daging merupakan sumber protein berkualitas tinggi, mengandung vitamin B dan mineral, khususnya besi. Menurut Forrest et al . (1975), nilai nutrisi daging yang tinggi disebabkan karena daging mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Di samping kandungan proteinnya tinggi, daging juga mengandung air, lemak, karbohidrat dan komponen organik (Soeparno,1994).

2.      Giling daging, garam, setengah bagian es, sendawa, dan Sodium Trifosfat (STPP) di dalam blender atau food processor.

a.    Garam
Menurut Soeparno (1994), garam merupakan bahan terpenting dalam curing, berfungsi sebagai pengawet, penambah aroma dan citarasa. Garam dapat meningkatkan tekanan osmotik medium pada konsentrasi 2 %, sejumlah bakteri terhambat pertumbuhannya. Wilson et al.(1981) menjelaskan bahwa larutan garam mempercepat kelarutan protein otot dan memperbaiki daya mengikat airnya. Konsentrasi optimum pada sosis sekitar 1-5%.

b.    Es
Menurut Kramlich (1971), penambahan es biasanya sebanyak 20-30%. Es juga berfungsi untuk mencegah agar suhu adonan tetap rendah selama penggilingan sehingga kestabilan emulsi dapat terjaga (Wilson etal., 1981).

c.    Sendawa
Pemakaian sendawa diperlukan untuk mencegah pertumbuhan bakteri klostridium yang dapat mengakibatkan keracunan makanan. Selain itu, sendawa juga berfungsi melembutkan daging, dan mempertahankan warna sosis tetap merah.

d.    Sodium Trifosfat (STPP)
Menurut Soeparno (1994), fungsi fosfat adalah untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging, mereduksi pengerutan daging dan menghambat ketengikan. Jumlah penambahan fosfat dalam curing tidak boleh lebih dari 5% dan produk akhir harus mengandung fosfat kurang dari 0.5 %.

3.      Masukkan lemak, tepung sagu, susu skim, bumbu, dan sisa es ke dalam blender, lalu giling kembali sambil ditambahkan minyak goreng.

a.    Lemak
Lemak berperan sebagai fase diskontinu pada emulsi sosis. Kadar lemak berpengaruh pada keempukan dan jus (sari minyak) daging. Emulsi dari lemak sapi cenderung lebih stabil karena lemak sapi mengandung lebih banyak asam lemak jenuh. Sosis masak harus mengandung lemak tidak lebih dari 30 % (Kramlich,1971).

b.    Bahan Pengisi
Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan produk olahan daging yang harus mempunyai kemampuan mengikat sejumlah air. Tepung sagu merupakan salah satu bahan pengisi. Penambahan tepung sagu ke dalam produk olahan daging berfungsi sebagai binding, shaping, dan extender serta berperan untuk mengurangi biaya produksi dalam pengolahan produk olahan daging. Dapat juga digunakan tepung beras atau tepung tapioka sebagai pengganti, namun mungkin akan mempengaruhi rasa.

c.    Bahan Pengikat
Penambahan bahan pengikat bertujuan untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya mengikat air, meningkatkan citarasa, mengurangi pengerutan selama pemasakan serta mengurangi biaya formulasi. Bahan pengikat adalah material bukan daging yang dapat meningkatkan daya mengikat air daging dan emulsifikasi lemak. Bahan pengikat mempunyai protein yang tinggi. Contoh dari bahan pengikat adalah tepung kedelai, isolat protein kedelai serta susu skim (Soeparno,1994).

d.    Bumbu
Bumbu adalah suatu substansi tumbuhan aroatik yang telah dikeringkan dan biasanya sudah dalam bentuk bubuk (Rust, 1987). Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan flavor (Soeparno,1994). Selain menambah flavor, dalam beberapa hal bumbu juga bersifat bakteriostatik dan antioksidan (Pearson dan Tauber, 1984 ).

4.      Dinginkan adonan yang telah halus selama 10 menit, lalu masukkan ke dalam squit atau stuffers yang bagian ujungnya telah dipasang casing.

Selongsong sosis (casing)
Selongsong sosis (casing) dipakai untuk menentukan bentuk dan ukuran sosis berfungsi sebagai cetakan selama pengolahan, pembungkus selama penanganan dan pengangkutan, serta sebagai media display selama diperdagangkan. Selongsong sosis harus memiliki sifat kuat dan elastis (Pearson dan Tauber,1984). Menurut Kramlich (1971), ada lima macam selongsong yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu selongsong yang terbuat dari usus hewan, selongsong yang terbuat dari kolagen, selongsong yang terbuat dari selulosa, selongsong yang terbuat dari plastik, dan selongsong yang terbuat dari logam.

5.   Masukkan adonan ke dalam casing, lalu ikat ujung casing menggunakan benang.

6.   Rebus casing berisi adonan pada suhu 600C selama 45 menit.
Tujuan perebusan adalah memberikan rasa dan aroma tertentu pada sosis, memberikan warna yang lebih karena terbentuknya senyawa nitrosohemokrom yang stabil. Nitrosohemokrom ini menghasilkan warna merah muda yang merupakan warna utama daging kuring, perebusan juga dapat memperpanjang daya simpan.
7.   Perebusan dilakukan dalam panci yang berisi air dan kontrol dengan termometer. Usahakan suhu tetap stabil selama 45 menit.

8.   Sosis yang telah masak bisa dihidangkan untuk dikonsumsi. 
Bahasan :

Proses pembuatan diawali dengan penggilingan daging beserta bahan-bahan yang ditambahkan seperti lemak, garam, STPP, dan es batu. Bahan-bahan tersebut sebaiknya digiling dengan menggunakan food processor agar lembut dan terjadi proses emulsifikasi pada adonan.

Emulsifikasi yang terjadi dalam proses ini mengikatkan hubungan antara lemak dengan air sehingga protein dapat menjalankan tugasnya sebagai pengemulsi yang dapat menyatukan partikel-partikel yang tidak dapat saling larut. Hal ini didukung oleh Charley (1982), emulsi terdiri atas tiga fase atau bagian.
1.      Fase pertama adalah fase terdispersi yang terdiri dari partikel-partikel yang tidak dapat larut. Pada makanan, zat ini biasanya minyak, meskipun tidak selalu.
2.      Fase kedua adalah fase kontinyu. Pada makanan, zat ini biasanya air. Jika air dan minyak dicampur, keduanya akan langsung memisah dan dan terlihat garis pemisah yang jelas.
3.      Agar partikel-partikel salah satu cairan tersuspensi dalam cairan lainnya, dibutuhkan zat ketiga, yaitu molekul – molekul yang mempunyai afinitas untuk kedua cairan diatas.

Pada adonan sosis yang banyak mengandung kadar air di dalamnya, pembuatan sosis dapat disiasati dengan menambahkan protein yang dapat diambil dari tepung berprotein tinggi atau susu skim. Fungsinya adalah meningkatkan daya emulsi untuk mengikat air dan lemak.

Penambahan es batu bertujuan untuk menjaga suhu adonan agar tidak terlalu panas akibat gaya gesek yang terjadi selama pengggilingan. Sehingga protein yang ada dalam daging tidak terdenaturasi. Es pada adonan ini berfungsi untuk mengempukkan sosis, karena kadar air akan meningkat.

Hal ini didukung dengan pernyaataan Soeparno (1994), fungsi air adalah untuk meningkatkan keempukan dan juice (sari minyak) daging, melarutkan protein yang mudah larut dalam air, membentuk larutan garam yang diperlukan untuk melarutkan protein larut garam, berperan sebagai fase kontinu dari emulsi daging, menjaga temperatur produk serta mempermudah penetrasi bahan-bahan kuring. Penambahan es batu dilakukan secara bertahap dengan total penambahan 400 gram (40%). Menurut Kramlich (1971), pada proses pembuatan sosis biasanya ditambahkan air dalam bentuk es sebanyak 20-30%.

Bahan lain yang ditambahkan dalam pembuatan sosis ini adalah garam. Garam yang digunakan sebanyak + 3,9%. Garam berfungsi untuk mempercepat kelarutan protein otot dan meningkatkan daya mengikat air. Selain itu, garam juga berkontribusi langsung terhadap citarasa sosis dan bahan pengawet yang mencegah pertumbuhan bakteri. Wilson et al. (1981) menjelaskan bahwa larutan garam mempercepat kelarutan protein otot dan memperbaiki daya mengikat airnya. Konsentrasi optimum pada sosis sekitar 1-5%.

Sodium Trifospat (STTP) ini berguna untuk mengenyalkan sosis yang karena dapat meningkatkan daya mengikat air pada daging dalam proses emulsifikasi. Uraian ini didukung oleh Wilson et al. (1981) yang mengatakan bahwa fosfat yang digunakan dalam sistem pangan menampilkan fungsi-fungsi kimia yaitu mengontrol pH, meningkatkan kekuatan ionik dan memisahkan ion logam. Fungsi-fungsi tersebut dipakai dalam produk daging untuk meningkatkan daya mengikat air, emulsifikasi dan memperlambat oksidasi.

Proses penggilingan sosis ditambahkan dengan bumbu-bumbu lain seperti susu skim, bawang putih, pala, merica, jahe, dan penyedap rasa. Bahan tambahan tersebut berfungsi untuk memberikan flavor yang enak dalam sosis serta dapat juga berfungsi sebagai bahan pengawet makanan yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri.

Tepung sagu yang ditambahkan dalam adonan sosis berfungsi sebagai bahan pengisi yang berpengaruh kecil terhadap emulsifikasi. Penambahan tepung sagu ini dapat membantu meningkatkan daya mengikat air selama proses pengolahan. Penambahan tepung sagu akan berpengaruh terhadap rasa daging yang ada dalam sosis, semakin tinggi tepung yang ditambahkan maka semakin tinggi jumlah atau volume adonan tetapi akan semakin rendah rasa daging dalam sosis. Kandungan utama tepung sagu adalah pati. Pati mempunyai rasa yang tidak manis, tidak larut dalam air dingin, tetapi didalam air panas dapat membentuk sol atau gel yang bersifat kental.

Kemudian adonan dapat dikemas menggunakan selongsong sosis. Selongsong yang digunakan dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan. Adonan dimasukkan ke dalam squit atau stuffers kemudian ditekan hingga adonan masuk selongsong lalu diikat.

Proses pengemasan yang sudah selesai kemudian dilanjutkan dengan proses pemasakan sosis. Sosis yang dibuat dimasak selama 45 menit pada suhu 60oC. Pemanasan dengan suhu rendah ini bertujuan meminimalkan potensi pecah dan melelehnya selongsong karena pemanasan. Pemanasan tersebut sebaiknya menggunakan api kecil saja dan tidak boleh dibiarkan hingga air rebusan mendidih.




III. PENUTUP



1.1    Simpulan

Dari keseluruhan isi makalah ini, dapat disimpulkan bahwa cara pembuatan sosis cukup mudah, yaitu dengan menggiling daging, menggiling bumbu, mencampurnya, memasukkan dalam casing, kemudian merebusnya.

1.2    Saran

Pada makalah ini, cara pembuatan sosis yang disajikan adalah cara pembuatan sosis yang paling umum dan dengan proses pengolahan terbaru. Bila suatu saat ada cara yang lebih baru dalam pembuatan sosis, misalnya penggunaan pengenyal lain yang lebih aman, mungkin dapat ditambahkan dalam makalah selanjutnya, agar makalah yang dibuat dapat lebih lengkap.



DAFTAR PUSTAKA



http://bataviase.co.id/
http://bertani.wordpress.com/2010/10/27/pembuatan-sosis/#comment-36
http://duniasapi.com/id/makanan/1475-jenis-resep-sosis.html
http://en.wordpress.com/tag/tinjauan-pustaka-sosis/
http://fastasqi.wordpress.com/

http://pelitaku.sabda.org/jenis_jenis_tulisan/memahami_struktur_karya_tulis_

ilmiah/

http://www.dalimunthe.com/search/label/info%20buat%20kamu




LAMPIRAN



1.   Sagu adalah butiran atau tepung yang diperoleh dari teras batang pohon sagu atau rumbia (Metroxylon sago Rottb). Tepung sagu memiliki ciri fisik yang mirip dengan tepung tapioka. Dalam resep masakan, tepung sagu yang relatif sulit diperoleh sering diganti dengan tepung tapioka, meskipun keduanya sebenarnya berbeda.

2.   Tepung beras dihasilkan dari mata padi pilihan dan dibuat tanpa menggunakan bahan pengawet.

3.   Tepung tapioka yang ditambahkan dalam adonan sosis berfungsi sebagai bahan pengisi yang berpengaruh kecil terhadap emulsifikasi. Penambahan tepung tapioka ini dapat membantu meningkatkan daya mengikat air selama proses pengolahan.

4.   Susu skim (inggris: Skim milk) adalah susu tanpa lemak yang bubuk susunya dibuat dengan menghilangkan sebagian besar air dan lemak yang terdapat dalam susu.

5.   Gula merupakan sejenis pemanis yang telah digunakan oleh manusia sejak 2000 tahun dahulu untuk mengubah rasa dan sifat makanan dan minuman.

6.   Lada atau merica (Piper nigrum L.) adalah rempah-rempah berwujud bijian yang dihasilkan oleh tumbuhan dengan nama sama

7.   Bawang putih adalah nama tanaman dari genus Allium sekaligus nama dari umbi yang dihasilkan. Umbi dari tanaman bawang putih merupakan bahan utama untuk bumbu dasar masakan Indonesia.


8.   Natrium trifosfat (STP, kadang-kadang STPP atau natrium tripolifosfat atau TPP) adalah senyawa anorganik dengan rumus Na 5 P 3 O 10.

9. Pala (Myristica fragrans) merupakan tumbuhan berupa pohon yang berasal dari kepulauan Banda, Maluku.

10. Jahe (Zingiber officinale), adalah tanaman rimpang yang sangat populer sebagai rempah-rempah dan bahan obat.

11. Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan.

12. Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk menggoreng makanan.

13. Lemak secara khusus menjadi sebutan bagi minyak hewani pada suhu ruang, lepas dari wujudnya yang padat maupun cair, yang terdapat pada jaringan tubuh yang disebut adiposa.

14. Garam dapur adalah sejenis mineral yang lazim dimakan manusia. Bentuknya kristal putih, seringkali dihasilkan dari air laut.

15. Termometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu (temperatur), ataupun perubahan suhu. Istilah termometer berasal dari bahasa Latin thermo yang berarti bahang dan meter yang berarti untuk mengukur.

16. Sendawa merupakan senyawa organik yang berbentuk kristal putih atau tak berwarna, rasanya asin dan sejuk. Sendawa mudah larut dalamair dan meleleh pada suhu 377°C. Ada tiga bentuk sendawa, yaitu kalium nitrat, kalsium nitrat dan natrium nitrat. Sendawa dapat dibuat dengan mereaksikan kalium khlorida dengan asam nitrat atau natrium nitrat.

FORCE MOLTING NON KONFENSIONAL








I. PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Peternakan saat ini merupakan sektor yang dapat diandalkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Budidaya ternak unggas tercatat sejak tahun 1000 SM di India, terdiri dari 14.000 spesies unggas yang ada, semuanya digolongkan ke dalam 25 ordo (Amrullah, 2004). Tetapi unggas yang besar peranannya di dalam kehidupan manusia adalah bangsa ayam, sehingga ayam terus dikembangkan sampai saat ini dan menjadi industri yang berkembang pesat. Perlu diketahui bahwa ayam memilki potensi yang besar di dalam pemenuhan gizi masyarakat khususnya sebagai sumber protein hewani yang mudah didapatkan dan terjangkau seperti telur dan daging ayam.

Industri peternakan unggas saat ini berkembang pesat khusunya industri peternakan layer (ayam petelur) karena merupakan kebutuhan manusia secara terus menerus sehingga industri ini sangat menjanjikan. Akan tetapi hal yang menjadi kendala di dalam suatu usaha peternakan adalah pemenuhan kebutuhan bibit baru dan produksi yang dihasilkan ternak tersebut. Lalu bagaimana peternak bisa mendapatkan keuntungan yang lebih? Yaitu dengan memperpanjang masa produksi, sehingga biaya produksi berkurang dan menerapkan sistem pemeliharaan yang baik seperti force moulting.

Force moulting merupakan suatu metode dalam peternakan komersial, dimana ayam petelur dipaksa mengugurkan bulunya pada fase arkir selama dua bulan agar produksi kembali terjadi dan meningkat. Oleh karena itu, metode ini sangat tepat diterapkan oleh para peternak bila ingin memperpanjang masa produksi telur, hal tersebut disebabkan oleh ketidak mampuan para peternak untuk membeli DOC atau ayam remaja (pullet).

1.2 Tujuan

Praktikum ini dilakukan dengan tujuan agar mahasiswa mampu menerangkan dan mengetahui metode-metode force molting non-konvensional.
 

 
 II. TINJAUAN PUSTAKA



Ayam petelur mulai berproduksi sekitar umur 22 – 24 minggu dan produksinya akan terus meningkat serta mencapai puncaknya pada umur 34 – 36 minggu. Setelah itu, produksinya akan terus menurun sesuai dengan bertambahnya umur dan pada umur sekitar 18 bulan (72 minggu) secara alami ayam akan mengalami proses ganti bulu yang lazim disebut moulting (Kartasudjana, 2006). Akibatnya, produksi akan turun dan terhenti sehingga peternak tidak akan mendapatkan telur (keuntungan), tetapi setelah terjadi proses tersebut maka ayam akan kembali berproduksi lagi walaupun tidak maksiamal.

Untuk menjaga kesinambungan ayam, maka harus diganti dengan ayam dara (pullet), akan tetapi harga ayam dara dari hari ke hari semakin meningkat sehingga proses gugur bulu tersebut dapat dipersingkat selama sekitar 2 bulan, dengan menerapkan proses gugur bulu paksa (force moulting), maka setelah itu, produksi akan meningkat dengan presentase tinggi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mulyono (2004) bahwa secara normal rontok bulu terjadi setelah ayam berumur lebih dari 80 minggu. Pada umur ini merupakan saat yang tepat bagi ayam untuk diapkir. Proses perontokan bulu biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu.

Force moulting adalah usaha merontokkan bulu unggas sebelum masa waktunya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan masa peneluran kedua yang serasi. Selama masa meranggas (moulting) berat badan layer akan berkurang. Banyak metode yang dapat dilakukan dalam melakukan molting pada ayam, umumnya yaitu dengan metode konvensional dan non-konvensional.

Menurut Kartasudjana (2006) bahwa hal-hal yang menjadi pertimbangan perlu tidaknya dilakukan force moulting untuk menjaga performa pada siklus produksi tahun kedua yaitu :
a.   Biaya produksi, biaya pada pelaksanaan force moulting lebih murah dari pada biaya untuk membesarkan doc, sehingga pelaksanaan force moulting lebih baik.
b.   Angka kematian, angka kematinan pada siklus pada produksi kedua lebih rendah dari pada siklus produksi tahun pertama.
c.   Konsumsi ransum, konsumsi ransum pada siklus produksi tahun pertama lebih tinggi dari pada tahun kedua.
d.   Masa berproduksi, masa produksi pada tahun pertama lebih lama dibandingkan dengansiklus produksi kedua.
e.   Produksi telur, puncak produksi tahun kedua 7-10 % lebih rendah dari tahun pertama dan terus menurun secara perlahan setelah mencapai puncak produksi.
f.    Kualitas kulit telur, kualitas telur pada siklus kedua lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun pertama.
g.   Berat telur, berat telur pada tahun kedua lebih tinggi dari pada tahun pertama.
h.   Kualitas interior



III. PEMBAHASAN



Molting/meluruh adalah peristiwa rontoknya bulu secara alamiah dan beraturan. Molting yang dipaksakan, dinamakan force molting atau induce molting. Molting digunakan untuk mengatur produksi, harga telur, meningkatkan produksi, dan kualitas telur. Menurut Suprijatna (2005) bahwa proses meluruh mengikuti suatu pola atau aturan tertentu. Hal ini adalah aturan yang menawarkan suatu petunjuk jumlah telur yang diproduksi oleh induk sebelum menghentikan produksi telur dan meluruh dimulai. Adapun proses tersebut adalah sebagai berikut ;
1.   Body moult, adalah bulu rontok dari berbagai tubuh dengan urutan ; kepala, leher, dada, punggung, bulu kapas (fluff), abdomen (perut), sayap, dan terakhir ekor.
2.   Wing moult, apabila sayap burung (ayam) dilebarkan, tiga kelompok bulu sayap akan terlihat, dan akan meluruh dari bulu primer, sekunder, dan aksial.

Selama masa hidupnya, ayam petelur mampu untuk berproduksi tiga kali masa produksi. Namun kebanyakan peternak, pada masa produksi tahun kedua sudah menjual ayamnya, karena produksinya sudah menurun. Dilain hal, biaya produksi selama membesarkan pullet sampai bertelur cukup tinggi. Ada cara untuk menaikan kembali produksi telur ayam tua tersebut, antara lain dengan memberikan obat-obatan atau zat kimia sampai pada kondisi bulu luruh secara paksa.

Proses luruh dan tumbuhnya bulu alamiah adalah proses fisiologis yang dipengaruhi oleh perubahan kadar hormon tiroksin (Kuenzell, 2003), walaupun mekanismenya belum diketahui dengan jelas (Quinn et al., 2005). Molting alami pada ayam terjadi selama empat bulan (Walbert, 2004). Perangsangan molting secara paksa bisa berlangsung selama 5-9 minggu (Berry, 2003).
Khodadadi et al. (2008), dan  Yi Soe et al, (2008) melaporkan bahwa force molting dapat meningkatkan produksi telur. Tulin Aksoy et al, (1997) dan Alodan & Mashaly, (1999) juga melaporkan bahwa force molting dapat meningkatkan produksi telur.  Narahari (2001) melaporkan bahwa force molting pada ayam umur 75 minggu dapat meningkatkan produksi telur 14,8% dan dapat mengurangi “egg producton cost” =10,7%.  Pelaksanaan force molting akan lebih nyata menguntungkan bila dilakukan pada saat harga telur turun sedangkan harga pakan meningkat (Mc Daniel BA & D.R. Aske, 2000).

Program Force Molting
1.         Konfensional
2.         Nonkonfensional

NONKONFENSIONAL (Menggunakan Obat-Obatan)

1.   Ransum dengan kadar Zn tinggi
Kadar Zn yang dibutuhkan adalah 20 ppm, jika kadar Zn dalam ransum ditambahkan lebih tinggi : 10.000 – 20.000 ppm maka akan terjadi rontok bulu dan produksi telur hari ke- 5 – 7 berhenti. Setelah pengaruh Zn hilang ayam berproduksi kembali pada minggu ke- 3 – 4.

Penelitian Ibrahim (1998), menunjukkan bahwa ransum dengan kadar Zn 20.000 ppm selama 16 hari mengakibatkan puncak produksi lebih rendah, tetapi lebih baik produksinya setelah rontok bulu dibandingkan dengan pemberian selama 8 hari. Pada ayam-ayam petelur bibit, ransum dengan 20.000 ppm Zn untuk 5 hari menyebabkan penurunan fertilitas dan daya teteas untuk 14 – 18 hari selama periode produksi berikutnya. Beberapa peneliti melaporkan bahwa penambahan Zn dengan kadar yang tinggi memberikan hasil yang sama dengan cara pemuasaan.

Zn berperan dalam mempengaruhi ovulasi dan produksi telur. Pemberian Zn dengan kadar tinggi dalam ransum menyebabkan anorexia. Kemungkinan lain dalam mekanisme ini adalah berkaitan dengan sekresi insulin yang menyebabkan peningkatan glukosa darah dan urine.
Keadaan ini menunjukkan bahwa Zn berinteraksi dengan darah dan Ca dalam sel sehingga menyebabkan Ca menurun sampai ke tingkat yang kritis dan inilah yang berpengaruh pada produksi dan pelepasan gonadotropin.

2.   Ransum dengan kadar Ca rendah
Ayam petelur yang dipuasakan selama 4 hari tetap bertelur bila diberikan CaCO3, karena Ca adalah zat makanan pembatas untuk ovulasi. Selama rontok bulu, sebaiknya kebutuhan Ca sekitar 2,75%. Penggunaan 0,056 – 0,30% Ca dalam ransum secara nyata mengurangi produksi telur ayam white leghorn.
Kadar Ca rendah dalam ransum menyebabkan sekresi hormon gonadotropin terhambat. Selanjutnya LH merangsang produksi hormon progesterone dari sel-sel granulosa yang tergantung dari kahadiran Ca.

3.   Peningkatan kadar iodine dalam ransum
Peningkatan kadar iodine dalam ransum (5.000 – 7.000 ppm) seperti potassium iodine menyebabkan produksi telur terhenti dalam waktu 5 – 7 hari. Produksi akan kembali setelah 2 – 3 hari pengaruh kelebihan iodine hilang. Dosis kurang dari 2.500 ppm kurang efektif dalam menghentikan produksi telur.

4.   Ransum bebas garam
Pemberian garam dalam ransum yang rendah (kurang dari 40 ppm) sama efisien dengan metode pemuasaan. Pengurangan feed intake sebesar 10 – 14% akan terjadi pada akhir minggu pertama, 22% pada minggu kedua, 30% pada minggu ketiga, dan 45% pada minggu keempat. Kadar sodium yang rendah menyebabkan pengaruh yang merusak atau negatif pada ginjal dan jaringan adrenal serta dehidrasi dari tubuh.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan Zn 15.000 ppm dalam ransum lebih efektif daripada iodine (7.500 ppm) atau ransum tanpa garam pada ayam white leghorn.

5.   Produk obat-obatan
Bahan campuran yang digunakan untuk merontokkan bulu misalnya enheptin (2-amino, 5-nitrothiazole), nicarbazin, methallibure, tamoxifer (bahan – bahan campuran anti estrogen), dan chlormadinone. Enheptin 0,10 – 0,15% dalam ransum mengakibatkan produksi telur terhenti dalam waktu 7 – 10 hari, dan produksi kembali 3 – 4 minggu setelah pengaruh obat tersebut hilang.

6.   Hormon – hormon reproduksi
Produksi telur akan terhenti pada 2 – 4 hari dan rontok bulu dimulai dalam waktu 7 – 12 hari setelah pemberian hormon progesteron (20 mg) yang disuntikkan atau melalui ransum ayam petelur selama 3 – 4 minggu. Hormon reproduksi lainnya seperti testosteron, FSH, PMS, LH, dan prolaktin dapat juga digunakan seefektif metode lainnya.

7.   Kombinasi dari beberapa metoda
Kombinasi dari dua atau lebih metode diatas, seperti kadar Ca rendah (0,08%) dan kadar Zn yang tinggi (2.800 ppm) dalam ransum, atau ransum tanpa garam dengan 7.500 ppm Zn efektif untuk white leghorn.

Penggunaan bahan kimia dan hormon – hormon reproduksi merupakan alternatif dalam metoda force molting yang lainnya, karena hasilnya seefisien seperti metoda convensional dalam menyebabkan rontok bulu.




 KESIMPULAN



Dari keseluruhan isi makalah ini, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Metode force molting nonkonfensional diterapkan dengan pemberian bahan – bahan kimia dan hormon – hormon reproduksi.
2.      Metode yang digunakan misalnya pemberian ransum dengan kadar Zn tinggi, ransum dengan kadar Ca rendah, peningkatan kadar iodine dalam ransum, ransum bebas garam, penggunaan produk obat – obatan, pemberian hormon – hormon reproduksi, dan kombinasi dari beberapa metode tersebut.



DAFTAR PUSTAKA



Amrullah, I.K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler Cet II. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.
Anonim, 2008. Rontok Bulu Buatan (Force Moulting). www. sentralternak.com (diakses 24 September 2008).
Ellis M.R. 2007. Moulting - A Natural Process. Poultry Branch, Agriculture Western Australia. PoultrySite.com (diakses 24 September 2008).
Kartasudjana, R dan Suprijatna E. 2006. Manajmen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Mulyono S. 2004. Memelihara Ayam Buras Berorientasi Agribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suprijatna E., Atmomarsono U, dan Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.