Cari Blog Ini

Selasa, 11 Januari 2011

FORCE MOLTING NON KONFENSIONAL








I. PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang

Peternakan saat ini merupakan sektor yang dapat diandalkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Budidaya ternak unggas tercatat sejak tahun 1000 SM di India, terdiri dari 14.000 spesies unggas yang ada, semuanya digolongkan ke dalam 25 ordo (Amrullah, 2004). Tetapi unggas yang besar peranannya di dalam kehidupan manusia adalah bangsa ayam, sehingga ayam terus dikembangkan sampai saat ini dan menjadi industri yang berkembang pesat. Perlu diketahui bahwa ayam memilki potensi yang besar di dalam pemenuhan gizi masyarakat khususnya sebagai sumber protein hewani yang mudah didapatkan dan terjangkau seperti telur dan daging ayam.

Industri peternakan unggas saat ini berkembang pesat khusunya industri peternakan layer (ayam petelur) karena merupakan kebutuhan manusia secara terus menerus sehingga industri ini sangat menjanjikan. Akan tetapi hal yang menjadi kendala di dalam suatu usaha peternakan adalah pemenuhan kebutuhan bibit baru dan produksi yang dihasilkan ternak tersebut. Lalu bagaimana peternak bisa mendapatkan keuntungan yang lebih? Yaitu dengan memperpanjang masa produksi, sehingga biaya produksi berkurang dan menerapkan sistem pemeliharaan yang baik seperti force moulting.

Force moulting merupakan suatu metode dalam peternakan komersial, dimana ayam petelur dipaksa mengugurkan bulunya pada fase arkir selama dua bulan agar produksi kembali terjadi dan meningkat. Oleh karena itu, metode ini sangat tepat diterapkan oleh para peternak bila ingin memperpanjang masa produksi telur, hal tersebut disebabkan oleh ketidak mampuan para peternak untuk membeli DOC atau ayam remaja (pullet).

1.2 Tujuan

Praktikum ini dilakukan dengan tujuan agar mahasiswa mampu menerangkan dan mengetahui metode-metode force molting non-konvensional.
 

 
 II. TINJAUAN PUSTAKA



Ayam petelur mulai berproduksi sekitar umur 22 – 24 minggu dan produksinya akan terus meningkat serta mencapai puncaknya pada umur 34 – 36 minggu. Setelah itu, produksinya akan terus menurun sesuai dengan bertambahnya umur dan pada umur sekitar 18 bulan (72 minggu) secara alami ayam akan mengalami proses ganti bulu yang lazim disebut moulting (Kartasudjana, 2006). Akibatnya, produksi akan turun dan terhenti sehingga peternak tidak akan mendapatkan telur (keuntungan), tetapi setelah terjadi proses tersebut maka ayam akan kembali berproduksi lagi walaupun tidak maksiamal.

Untuk menjaga kesinambungan ayam, maka harus diganti dengan ayam dara (pullet), akan tetapi harga ayam dara dari hari ke hari semakin meningkat sehingga proses gugur bulu tersebut dapat dipersingkat selama sekitar 2 bulan, dengan menerapkan proses gugur bulu paksa (force moulting), maka setelah itu, produksi akan meningkat dengan presentase tinggi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mulyono (2004) bahwa secara normal rontok bulu terjadi setelah ayam berumur lebih dari 80 minggu. Pada umur ini merupakan saat yang tepat bagi ayam untuk diapkir. Proses perontokan bulu biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu.

Force moulting adalah usaha merontokkan bulu unggas sebelum masa waktunya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan masa peneluran kedua yang serasi. Selama masa meranggas (moulting) berat badan layer akan berkurang. Banyak metode yang dapat dilakukan dalam melakukan molting pada ayam, umumnya yaitu dengan metode konvensional dan non-konvensional.

Menurut Kartasudjana (2006) bahwa hal-hal yang menjadi pertimbangan perlu tidaknya dilakukan force moulting untuk menjaga performa pada siklus produksi tahun kedua yaitu :
a.   Biaya produksi, biaya pada pelaksanaan force moulting lebih murah dari pada biaya untuk membesarkan doc, sehingga pelaksanaan force moulting lebih baik.
b.   Angka kematian, angka kematinan pada siklus pada produksi kedua lebih rendah dari pada siklus produksi tahun pertama.
c.   Konsumsi ransum, konsumsi ransum pada siklus produksi tahun pertama lebih tinggi dari pada tahun kedua.
d.   Masa berproduksi, masa produksi pada tahun pertama lebih lama dibandingkan dengansiklus produksi kedua.
e.   Produksi telur, puncak produksi tahun kedua 7-10 % lebih rendah dari tahun pertama dan terus menurun secara perlahan setelah mencapai puncak produksi.
f.    Kualitas kulit telur, kualitas telur pada siklus kedua lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun pertama.
g.   Berat telur, berat telur pada tahun kedua lebih tinggi dari pada tahun pertama.
h.   Kualitas interior



III. PEMBAHASAN



Molting/meluruh adalah peristiwa rontoknya bulu secara alamiah dan beraturan. Molting yang dipaksakan, dinamakan force molting atau induce molting. Molting digunakan untuk mengatur produksi, harga telur, meningkatkan produksi, dan kualitas telur. Menurut Suprijatna (2005) bahwa proses meluruh mengikuti suatu pola atau aturan tertentu. Hal ini adalah aturan yang menawarkan suatu petunjuk jumlah telur yang diproduksi oleh induk sebelum menghentikan produksi telur dan meluruh dimulai. Adapun proses tersebut adalah sebagai berikut ;
1.   Body moult, adalah bulu rontok dari berbagai tubuh dengan urutan ; kepala, leher, dada, punggung, bulu kapas (fluff), abdomen (perut), sayap, dan terakhir ekor.
2.   Wing moult, apabila sayap burung (ayam) dilebarkan, tiga kelompok bulu sayap akan terlihat, dan akan meluruh dari bulu primer, sekunder, dan aksial.

Selama masa hidupnya, ayam petelur mampu untuk berproduksi tiga kali masa produksi. Namun kebanyakan peternak, pada masa produksi tahun kedua sudah menjual ayamnya, karena produksinya sudah menurun. Dilain hal, biaya produksi selama membesarkan pullet sampai bertelur cukup tinggi. Ada cara untuk menaikan kembali produksi telur ayam tua tersebut, antara lain dengan memberikan obat-obatan atau zat kimia sampai pada kondisi bulu luruh secara paksa.

Proses luruh dan tumbuhnya bulu alamiah adalah proses fisiologis yang dipengaruhi oleh perubahan kadar hormon tiroksin (Kuenzell, 2003), walaupun mekanismenya belum diketahui dengan jelas (Quinn et al., 2005). Molting alami pada ayam terjadi selama empat bulan (Walbert, 2004). Perangsangan molting secara paksa bisa berlangsung selama 5-9 minggu (Berry, 2003).
Khodadadi et al. (2008), dan  Yi Soe et al, (2008) melaporkan bahwa force molting dapat meningkatkan produksi telur. Tulin Aksoy et al, (1997) dan Alodan & Mashaly, (1999) juga melaporkan bahwa force molting dapat meningkatkan produksi telur.  Narahari (2001) melaporkan bahwa force molting pada ayam umur 75 minggu dapat meningkatkan produksi telur 14,8% dan dapat mengurangi “egg producton cost” =10,7%.  Pelaksanaan force molting akan lebih nyata menguntungkan bila dilakukan pada saat harga telur turun sedangkan harga pakan meningkat (Mc Daniel BA & D.R. Aske, 2000).

Program Force Molting
1.         Konfensional
2.         Nonkonfensional

NONKONFENSIONAL (Menggunakan Obat-Obatan)

1.   Ransum dengan kadar Zn tinggi
Kadar Zn yang dibutuhkan adalah 20 ppm, jika kadar Zn dalam ransum ditambahkan lebih tinggi : 10.000 – 20.000 ppm maka akan terjadi rontok bulu dan produksi telur hari ke- 5 – 7 berhenti. Setelah pengaruh Zn hilang ayam berproduksi kembali pada minggu ke- 3 – 4.

Penelitian Ibrahim (1998), menunjukkan bahwa ransum dengan kadar Zn 20.000 ppm selama 16 hari mengakibatkan puncak produksi lebih rendah, tetapi lebih baik produksinya setelah rontok bulu dibandingkan dengan pemberian selama 8 hari. Pada ayam-ayam petelur bibit, ransum dengan 20.000 ppm Zn untuk 5 hari menyebabkan penurunan fertilitas dan daya teteas untuk 14 – 18 hari selama periode produksi berikutnya. Beberapa peneliti melaporkan bahwa penambahan Zn dengan kadar yang tinggi memberikan hasil yang sama dengan cara pemuasaan.

Zn berperan dalam mempengaruhi ovulasi dan produksi telur. Pemberian Zn dengan kadar tinggi dalam ransum menyebabkan anorexia. Kemungkinan lain dalam mekanisme ini adalah berkaitan dengan sekresi insulin yang menyebabkan peningkatan glukosa darah dan urine.
Keadaan ini menunjukkan bahwa Zn berinteraksi dengan darah dan Ca dalam sel sehingga menyebabkan Ca menurun sampai ke tingkat yang kritis dan inilah yang berpengaruh pada produksi dan pelepasan gonadotropin.

2.   Ransum dengan kadar Ca rendah
Ayam petelur yang dipuasakan selama 4 hari tetap bertelur bila diberikan CaCO3, karena Ca adalah zat makanan pembatas untuk ovulasi. Selama rontok bulu, sebaiknya kebutuhan Ca sekitar 2,75%. Penggunaan 0,056 – 0,30% Ca dalam ransum secara nyata mengurangi produksi telur ayam white leghorn.
Kadar Ca rendah dalam ransum menyebabkan sekresi hormon gonadotropin terhambat. Selanjutnya LH merangsang produksi hormon progesterone dari sel-sel granulosa yang tergantung dari kahadiran Ca.

3.   Peningkatan kadar iodine dalam ransum
Peningkatan kadar iodine dalam ransum (5.000 – 7.000 ppm) seperti potassium iodine menyebabkan produksi telur terhenti dalam waktu 5 – 7 hari. Produksi akan kembali setelah 2 – 3 hari pengaruh kelebihan iodine hilang. Dosis kurang dari 2.500 ppm kurang efektif dalam menghentikan produksi telur.

4.   Ransum bebas garam
Pemberian garam dalam ransum yang rendah (kurang dari 40 ppm) sama efisien dengan metode pemuasaan. Pengurangan feed intake sebesar 10 – 14% akan terjadi pada akhir minggu pertama, 22% pada minggu kedua, 30% pada minggu ketiga, dan 45% pada minggu keempat. Kadar sodium yang rendah menyebabkan pengaruh yang merusak atau negatif pada ginjal dan jaringan adrenal serta dehidrasi dari tubuh.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan Zn 15.000 ppm dalam ransum lebih efektif daripada iodine (7.500 ppm) atau ransum tanpa garam pada ayam white leghorn.

5.   Produk obat-obatan
Bahan campuran yang digunakan untuk merontokkan bulu misalnya enheptin (2-amino, 5-nitrothiazole), nicarbazin, methallibure, tamoxifer (bahan – bahan campuran anti estrogen), dan chlormadinone. Enheptin 0,10 – 0,15% dalam ransum mengakibatkan produksi telur terhenti dalam waktu 7 – 10 hari, dan produksi kembali 3 – 4 minggu setelah pengaruh obat tersebut hilang.

6.   Hormon – hormon reproduksi
Produksi telur akan terhenti pada 2 – 4 hari dan rontok bulu dimulai dalam waktu 7 – 12 hari setelah pemberian hormon progesteron (20 mg) yang disuntikkan atau melalui ransum ayam petelur selama 3 – 4 minggu. Hormon reproduksi lainnya seperti testosteron, FSH, PMS, LH, dan prolaktin dapat juga digunakan seefektif metode lainnya.

7.   Kombinasi dari beberapa metoda
Kombinasi dari dua atau lebih metode diatas, seperti kadar Ca rendah (0,08%) dan kadar Zn yang tinggi (2.800 ppm) dalam ransum, atau ransum tanpa garam dengan 7.500 ppm Zn efektif untuk white leghorn.

Penggunaan bahan kimia dan hormon – hormon reproduksi merupakan alternatif dalam metoda force molting yang lainnya, karena hasilnya seefisien seperti metoda convensional dalam menyebabkan rontok bulu.




 KESIMPULAN



Dari keseluruhan isi makalah ini, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Metode force molting nonkonfensional diterapkan dengan pemberian bahan – bahan kimia dan hormon – hormon reproduksi.
2.      Metode yang digunakan misalnya pemberian ransum dengan kadar Zn tinggi, ransum dengan kadar Ca rendah, peningkatan kadar iodine dalam ransum, ransum bebas garam, penggunaan produk obat – obatan, pemberian hormon – hormon reproduksi, dan kombinasi dari beberapa metode tersebut.



DAFTAR PUSTAKA



Amrullah, I.K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler Cet II. Lembaga Satu Gunungbudi, Bogor.
Anonim, 2008. Rontok Bulu Buatan (Force Moulting). www. sentralternak.com (diakses 24 September 2008).
Ellis M.R. 2007. Moulting - A Natural Process. Poultry Branch, Agriculture Western Australia. PoultrySite.com (diakses 24 September 2008).
Kartasudjana, R dan Suprijatna E. 2006. Manajmen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Mulyono S. 2004. Memelihara Ayam Buras Berorientasi Agribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suprijatna E., Atmomarsono U, dan Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.

1 komentar: